Hampir semua orang tua, apabila melihat anaknya berbuat suatu kesalahan akan secara spontan memarahi anaknya. Jarang sekali ada orang tua yang diam saja pada saat melihat anaknya berbuat sebuah kesalahan, yang biasa terjadi pada kebanyakan orang tua adalah memarahi dan memberi hukuman kepada anaknya. Contohnya: pada saat anaknya melempar-lemparkan mainannya, orang tua yang otoriter biasanya akan langsung memarahi dan menghukum dengan jalan mainannya diambil dan anak tidak boleh bermain lagi. Hukuman yang seperti itu tidak akan mendidik anak, karena hal tersebut hanya akan menimbukkan efek jera semu pada anak, dan akan menimbulkan pemberontakkan di dalam diri anak.
Di dalam pola asuh, memang diperkenankan terkadang orang tua bersikap otoriter terhadap anaknya, tetapi sikap otoriter tersebut harus masih dalam batasan dan juga harus mendidik. Pada saat anak melakukan sebuah kesalahan, orang tua harus memberikan pengertian tentang konsekuensi dari tindakannya tersebut, barulah setelah anak mengerti orang tua harus meminta anaknya untuk bertanggungjawab. Dalam hal ini orang tua harus bersikap tegas, sehingga anak benar-benar mengerti konsekuensi dari tindakannya tersebut. Contohnya: pada saat melempar-lemparkan mainannya, orang tua harus memberi pengertian kepada anaknya bahwa kalau mainannya akan rusak kalau dilempar-lemparkan ataupun kalau terkena benda lain atau orang lain akan merugikan yang lain juga, akan merusak benda lain ataupun menyakiti orang yang terkena lemparan tersebut. Konsekuensinya harus dijelaskan bahwa kalau mainannya rusak, tidak bisa bermain lagi. Dan setelah anak mengerti, orang tua harus meminta anak untuk berjanji untuk tidak melempar-lempar kembali dan kalau sudah selesai bermain harus membereskan mainannya. Tentunya hal-hal tersebut diatas harus diungkapkan dengan nada suara yang tegas, tetapi tidak dengan keras atau marah-marah (berteriak), karena pada saat orang tua dengan nada tinggi atau berteriak anak akan menjadi takut terlebih dahulu, sehingga rasa tanggung jawab atas perbuatan tersebut tidak muncul dengan sendirinya, tetapi karena perasaan takut. Jangan sampai orang tua memberikan hukuman-hukuman yang bersifat hukuman fisik seperti menampar, memukul dengan benda keras ataupun dengan tangannya, mencaci maki anak, dll, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan pemberontakan atau membuat anak menjadi sakit hati dengan orang tuanya.
Oleh karena itu, sebagai orang tua, kita tidak boleh hanya sekedar memberi hukuman yang hanya memberikan efek jera tetapi tidak mendidik. Orang tua harus lebih bijaksana dalam mengasuh dan mendidik anak. Sebagai orang tua, kita harus mengerti kapan harus bersikap otoriter, kapan harus bersikap permisif, dan kapan harus bersikap demokratis. Yang terpenting adalah kekompakkan dan konsistensi dari orang tua dalam menerapkan pola asuhnya agar anak tidak bingung.
Sarah Emmanuel Haryono, M.Psi